Cerita Dewasa || Aku yang kesepian Butuh Kehangatan - Aku hidup sendirian, dengan cara yang jauh lebih sederhana daripada ketika masih bersama orang tuaku. Sebagian besar gajiku habis untuk makan sehari-hari dan membeli pakaian. Sewaktu masih tinggal bersama keluarga, aku tidak begitu peduli dengan pakaian, sehingga tak banyak membelinya.
Kini, setelah bekerja, aku memerlukan pakaian- pakaian yang sesuai.
Selain itu, aku juga mulai menata masa depan: aku sekolah lagi, kursus
bahasa Inggris. Setiap akhir bulan, hanya sedikit yang bisa kusisakan
untuk menambah tabungan. Paviliun tempat tinggalku tertata apik. Ada
satu kamar tidur, dapur kecil, kamar mandi dan ruang tamu. Sepi sekali
rasanya hidup sendirian pada bulan-bulan pertama.
Tetapi entah kenapa, aku menyukai kesendirian itu. Terlebih lagi, baru
kali ini aku merasa mengurus diriku sendiri, setelah sejak lahir diurus
orang lain. Bahkan semasa remaja sampai menikah pun hidupku selalu
diintervensi orang lain. Kini aku bebas, dan ternyata melegakan!
Kehidupan seks-ku kini muncul kembali, setelah lama tak tersentuh.
Aku tidak mempunyai teman khusus pria, dan perlahan-lahan kebutuhan seks
kupenuhi secara mandiri. Betul- betul lengkap rasanya kesendirianku,
tak ada suami pemberi nafkah, tak ada laki-laki pemuas dahaga birahi.
Semuanya kujalankan sendiri saja. Jika birahiku datang, pada saat
sendirian menonton televisi, aku akan menutup semua korden. Volume TV
kubesarkan, lampu kumatikan.
Duduk di sofa, kuangkat kedua kakiku, bersandar santai ke jok yang
empuk. Di dalam rumah, aku tak pernah memakai pakaian dalam, dan daster
longgar adalah satu-satunya pembalut tubuhku. Dengan kaki terkangkang
dan mata setengah terpejam, aku menikmati tangan dan jariku sendiri.
Aku biasanya mulai dengan mengelus-elus daerah sekitar kewanitaanku yang
terasa hangat. Telapak tanganku dengan ringan menekan-nekan bagian
atas, tempat bulu-bulu halus yang menghitam lebat. Pada saat seperti
itu, kedua tanganku aktif di bawah sana.
Yang satu mengusap-usap bagian atas, yang lain meraba bibir-bibirnya,
menguak sedikit dan menyentuh- nyentuh bagian dalam yang cepat sekali
menjadi basah. Dengan pangkal ibu jari, kutekan-tekan pula klitoris-ku,
yang selalu tersembunyi di balik kulit kenyal.
Aku sering mendesis nikmat setiap kali klitoris itu seperti tergelincir
ke kiri ke kanan akibat perlakuan tanganku. Dengan cepat, rasa hangat
menyebar ke seluruh tubuhku, dan cairan-cairan cinta terasa merayap ke
bawah, ke liang kewanitaanku. Mataku akan terpejam, menikmati kegelian
itu.
Kadang-kadang aku membayangkan almarhum kekasihku, tetapi akhir-akhir
ini semakin sulit rasanya. Aku lebih mudah membayangkan sembarang pria,
atau bintang film pujaanku, atau sama sekali seorang yang tak pernah
kutemui. Seseorang yang hanya ada dalam khayalanku.
Tak berapa lama, bibir kewanitaanku terasa menebal, dan saling menguak
seperti bunga yang merekah. Dengan jari tengah dari tangan yang lain,
kutelusuri celah-celah kewanitaanku. Aku tidak pernah memelihara kuku
hingga panjang, karena selain menghalangiku mengetik dengan cepat, juga
karena aku malas merawatnya.
Tanpa kuku, jari tengahku dapat leluasa menimbulkan geli dan gatal di
bawah sana. Turun ke bawah, sampai mendekati lubang pelepasanku, lalu
naik lagi, melewati liang senggamaku yang mulai berdenyut-denyut lemah,
melewati lubang air seni, terus.. naik lebih tinggi, bertemu telapak
tanganku yang lain yang masih mengusap-usap klitoris-ku. Oh.. betapa
nikmat permainan yang perlahan-lahan dan sepenuhnya dalam kendaliku
ini.
Terkadang jauh lebih nikmat daripada dilakukan orang lain! Lama-lama,
aku tak tahan lagi. Sekaligus dua jari kumasukkan ke dalam liang
kewanitaanku. Aku memutar-mutar kedua jari itu di dalam, agar
dinding-dinding kewanitaanku mendapat sentuhan-sentuhan.
Mula- mula sentuhan itu cukup ringan saja. Tetapi lalu aku mulai
mengerang, karena geli-gatal semakin memenuhi seluruh tubuhku, dan
rasanya ingin digaruk dan diurut di bawah sana.
Terutama di dinding bagian atas, tempat sebuah bagian yang sangat
sensitif, entah bagian apa namanya. Bagian itu membuat tubuhku mengejang
jika tersentuh jari. Ke sanalah jari tengahku menuju, mengurut-urut dan
menekan-nekan. Semakin lama semakin cepat dan keras. Aku bahkan sampai
merasa perlu mengangkat pinggulku, membuat posisi dudukku semakin
terkangkang.
Pada saat seperti itu, tak ada yang bisa menghentikanku. Kalau telpon
berdering, aku biarkan. Kalau pun ada yang mengetuk pintu, barangkali
juga akan kudiamkan (tetapi belum pernah ada tamu pada saat seperti
ini!). Mungkin gempa bumi pun tak kan mampu mengehentikanku. Tanganku
bergerak dengan cepat dan keras. Mataku terpejam erat, mulutku tak
berhenti mengerang, karena itu aku perlu mengeraskan volume televisi.
Lalu klimaks akan datang dengan cepat, menyerbu seluruh tubuhku, berawal
dari dalam liang kewanitaanku, tempat kedua jariku (kadang-kadang tiga
jari) mengaduk- aduk. Tanganku yang lain tak lagi sanggup berada di atas
klitoris, karena pada saat klimaks aku perlu berpegangan ke sofa, kalau
tidak ingin jatuh bergelimpangan ke lantai. Klimaksku selalu
menggelora, selalu membuatku mengejang dan menggelinjang hebat.
Kedua kakiku akhirnya terhempas ke lantai, menegang dan menekan seperti
hendak melompat. Tubuhku berguncang. Nafasku memburu. Kenikmatanku tak
mudah tergambarkan kata-kata. Lalu timbul perasaan nyaman, tetapi gatal
dan geli belum hilang. Maka biasanya aku langsung mematikan TV dan
pergi ke kamar tidur.
Di ranjang, aku melanjutkan lagi kegiatan itu, kali ini dengan bantuan
bantal guling. Kujepit erat bantal guling yang terbungkus kain halus dan
licin. Kugesek-gesekan kewanitaanku di sana, sehingga seringkali
bungkus bantal harus kucuci keesokan paginya.
Setelah menggesek-gesek dengan bantal guling, kembali kumasukkan
jari-jari tanganku. Dengan cepat jari- jari itu membawaku mencapai
klimaks yang berikutnya, yang seringkali lebih nikmat daripada yang
pertama, apalagi karena kulakukan sambil tidur, dengan kedua kaki
terangkat sampai kedua lutut menyentuh payudaraku. Barulah kemudian aku
tertidur dengan rasa letih yang nyaman.